Sejarah
mencatat adanya peperangan antara Kesultanan Kutai Kartanegara melawan
kaum penjajah (Inggris dan Belanda). Dikisahkan, pada tahun 1844, 2 buah
kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki
perairan Tenggarong. Murray
datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta sebidang tanah guna
mendirikan pos dagang serta hak transportasi kapal di perairan Mahakam.
Tetapi Raja Kutai, Sultan A.M. Salehuddin, mengizinkan Murray berdagang hanya di wilayah Samarinda.
Murray kecewa dan marah dengan tawaran Sultan. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray
melepaskan tembakan meriam ke arah istana. Tindakan ini dibalas pasukan
Kesultanan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray
akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut. Sebuah kapal berhasil
ditenggelamkan. Dalam pertempuran itu, James Erskine Murray terbunuh.
Insiden
di Tenggarong ini sampai ke pihak Pemerintah Inggris. Sebenarnya
Inggris hendak melakukan serangan balasan, namun ditanggapi pihak
Belanda yang menganggap Kutai bagian dari wilayah jajahannya. Belanda
berniat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.
Kemudian
Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando De Hooft dengan membawa
persenjataan lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada De Hooft langsung
menyerang istana Sultan Kutai.
Sultan
A.M. Salehuddin pun diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang
Kesultanan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya
dengan gagah berani bertempur melawan armada De Hooft untuk
mempertahankan kehormatan Kesultanan. Tetapi Awang Long gugur dalam
pertempuran tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah.
Pada
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin dengan sangat terpaksa
menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan Sultan mengakui
pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah jajahan di Kalimantan. Ketika itu diwakili seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar