Dahulu kala, di Baras Semayang hiduplah sebuah keluarga yang memiliki
seorang anak gadis bernama Tapih. Suatu hari, Saat Tapih mandi di
sungai, tiba-tiba topi tanggul dareh (topi yang tepinya lebar dan khusus dipergunakan pada upacara khusus) miliknya dihempaskan angin kencang dan jatuh di sungai. Topi itu kemudian terbawa arus sungai yang cukup deras.
Karena topi itu dianggap bukan sembarang topi, maka Tapih dan orang
tuanya menyusuri setiap desa yang terletak di sepanjang sungai Rungan
untuk mencarinya.
Ditanyainya setiap orang desa yang ditemui, namun mereka tak ada yang
mengetahuinya. Akhirnya, Tapih dan orang tuanya tiba di desa Sepang
Simin dan menemukan kembali topi itu. Ternyata topi itu dipungut oleh
seorang pemuda bernama Antang Taung. Orang tua Tapih menghadiahi pemuda
itu emas, namun Antang Taung menolaknya. Sebagai gantinya, ia meminta
Tapih untuk dijadikan istrinya. Permintaan itu di setujui oleh orang tua
Tapih.
Tak lama kemudian, Antang dan Tapih dinikahkan di desa Baras
Semanyang. Menurut adat setempat, sepasang mempelai baru harus berdiam
di rumah kedua orang tua masing-masing secara berfiliran. Mereka merasa
sangat berat untuk memenuhi adat ini karena diantara kedua desa mereka
terdapat hutan yang cukup lebat.
Untuk pemecahan masalah itu, diputuskan membuat jalan yang dapat
menghubungken kedua desa tanpa melalui hutan tersebut. Pembuatan jalan
di mulai dari Baras Semayang. Pekerjaan mereka mulanya mengalami
gangguan makhluk gaib. Setiap kali pekerja pulang, gubuk tempat mereka
beristirahat telah dimasuki orang dan bekal makanan mereka dicuri.
Hingga suatu hari, mereka menemukan akal. Mereka berbuat seolah-olah
meninggalkan gubuk untuk bekerja, tetepi sebenarnya mereka bersembunyi
di balik semak yang tak jauh dari tempat itu. Dari tempat persembuyian
itu , mereka dapat melihat seekor binatang angkes (sejenis landak)
sedang menaiki tangga gubuk. Setelah masuk kedalam, binatang itu
menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan secara ajaib berubah menjadi seorang
pemuda yang tampan.
Melihat hal itu para pekerja segera meringkus dan berhasil
menangkapnya. Ia minta ampun agar dilepaskan, jika ia dilepaskan ia
berjanji akan membantu para pekerja membuat jalan. Akhirnya permintaan
itu diluluskan. Anehnya, pemuda jelmaan binatang angkes tadi berhasil
menyelesaikan pembuatan jalan yang cukup panjang hanya dalam waktu tiga
hari. Mengetahui akn hal itu Tapih dan suaminya sangat kagum kepada
pemuda jadi-jadian itu dan mereka mengambilnya sebagai anak angkat.
Kini, dengan adanya jalan itu, suami istri itu dapat mondar mandir
kedesa masing-masing dengan mudah tanpa harus melewati hutan yang cukup
lebat itu.
Beberapa waktu kemudian Tapih pun mengandung. Saat itu mereka berada
di desa Sepang Simin. Calon ibu muda itu mengidam ingin makan ikan, maka
Antang Taung segera pergi kesungai untuk menangkap ikan. Saat itu ia
mendapat hasil cukup lumayan. namun,ketika ia akan mendarat ke desa
dengan biduknya,tiba-tiba turun hujan besar. Dengan tergesa –gesa ia
lari pulang,dan tanpa ia sengaja telah meninggalkan seekor ikan tomang
di dalam perahunya.
Keesokan harinya,ketika ia kembali ke perahu untuk mengambilnya
,ternyata ikan itu telah lenyap. Sebagai gantinya , ditempat itu
terbaring seorang bayi perempuan. Anak itu kemudian di bawa pulang oleh
Antang Taung dan anak itu kemudian diangkat menjadi anak angkat mereka.
Anehnya, bayi perempuan temuan mereka itu tumbuh dengan cepatnya. Dalam
waktu beberapa bulan saja ia sudah menjadi seorang gadis dewasa yang
cantik. Gadis jelmaan ikan tomang itu kemudian jatuh cinta pada pemuda
jelmaan binatang angkes. Dan keduanya kemudian dikawinkan. Mereka
menjadi suami istri yang bahagia.
Tak lama kemudian mereka melahirkan seorang anak laki-laki. Akan
tetapi, anak itu mati tak lama setelah lahir. Betapa sedih kedua manusia
jelmaan binatang itu. sKesedihan lain pun muncul. Beberapa hari
kemudian saudara laki-laki angkat mereka, yakni putera Tapih dan Antang
Taung juga meninggal. Menurut adat, orang yang meninggal harus dilakukan
dua kali upacara kematian, sebelum arwahnya dapat menuju ke Lewu Tatau (Sorga orang Dayak Ngaju).
Pada upacara pertama jenazah dikebumikan dan pada upacara kedua,
jenazah yang sudah tinggal tulang belulang itu dibakar. Hal ini
dimaksudkan untuk membebaskan roh seseorang dari badan kasarnya untuk
selama-lamanya. Sifat upacara ini mewah sekali dan disebut dengan nama Tiwah.
Ketika mendengar bahwa saudara angkatnya hendak di tiwahkan, suami
istri jelmaan binatang itu ingin juga agar anaknya yang telah meninggal
dibakar dalam upacara tersebut. Niat itu sangat di tentang oleh Tapih
dan Antang Taung, tapi mereka tak menghiraukan dan bersikukuh dengan
niat itu.
Dan terjadi sesuatu yang menghebohkan ketika kuburan anak suami istri
jadi-jadian itu di gali. Ternyata yang tinggal bukan tulang belulang
manusia melainkan tulang belulang binatang dan ikan. Kejadian itu
membuat malu besar pada kedua suami istri asal binatang itu, sehingga
akhirnya mereka menyinkir dari desa Sepang Simin dan membangun sebuah
desa di hutan belantara. Didesa itu mereka kemudian berkembang biak
menjadi suatu keluarga besar. Keturunannya kemudian dikenal dengan
sebutan Hantuen.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, orang hantuen yang asli
sudah tidak ada. Yang ada hanyalah keturunannya yang sudah kawin dengan
manusia biasa. Orang yang memiliki darah hantuen dipercaya akan memiliki
kemampuan untuk mengubah diri menjadi hantu jadi-jadian (hantuen). Pada
siang hari mereka akan menjadi manusia biasa, tetapi pada malam hari
mereka akan mengubah dirinya menjadi hantu tanpa tubuh yang gemar
menghisap darah.
KHASIAT BATU KECUBUNG KALIMANTAN
Kamis, 29 Agustus 2013
SEJARAH PERJUANGAN MISTIK RAKYAT KALSEL
Sejarah Perjuangan dan Mistik di balik Kisah Heroik Perjuangan Rakyat Kandangan, Kalsel
Pada waktu penjajahan Kolonial Belanda di Tanah air, pada era revolusi fisik, kota Kandangan adalah salah satu kota Kolonial belanda, atau keresidenan belanda di Kalimantan Selatan. Di kota itu lah pernah terjadi pertempuran dahsyat antra Penjajah Belanda dengan ALRI beserta rakyat kandangan yaitu pertempuran “garis demarkasi”. Di sebuah desa bernama Karang Djawa adalah saksi bisu pertempuran dahsyat tersebut, pertempuran memperebutkan Batas Garis demarkasi (garis batas kekuasaan Belanda).
Di mana para pejuang-pejuang ALRI dan Rakyat kandangan dengan gigih melawan belanda, salah satu pejuang DIVISI IV ALRI Kalimantan Selatan yang mungkin di kenal namanya ialah “Brigjend.H.Hassan Basry” yg mendapat julukan bapak gerilya Kalimantan ini adalah pencetus Strategi perang gerilya yang akhirnya berhasil menepuk mundur dan menewaskan banyak tentara di pihak belanda. Terlepas dari semua itu para pejuang dan warga desa karang jawa dan sekitarnya tidak hanya bermodal tenaga fikiran dan strategi saja, mereka juga mempunyai sebuah “syarat”,dan memakai sesuatu yg bersifat magis untuk melindungi dirinya, seperti halnya ilmu kekebalan, dll yg dapat melindungi diri mereka dari senjata para penjajah.
Baju di atas adalah “baju ba wafaq/ rajah” milik seorang komandan pasukan ALRI yaitu Samideri Dumam (masih kakek/ saudara dari nenek penulis) yang di fungsikan beliau pada masa revolusi fisik pertempuran garis demarkasi desa karang djawa, baju tersebut berfungsi untuk (kekebalan) dari sejata tajam maupun peluru dari senjata api para penjajah. Dan pernah dari kesaksian nyta orang2 tua, beliau pernah beberapa kali menahan tembakan peluru yang di tujukan kepada beliau. Dan Akhirnya beliulah orang yg paling banyak mebunuh dan membantai belanda Pada saat itu di samping itu beliau juga menguasai beberapa Ilmu kedigdyaan lainnya yg di pergunakaan untuk berperang melawan penjajah.( baju be wafaq/rajah yg pernah di gunakan beliau tersebut kini bisa di lihat di museum perjuangan Kalsel Waja Sampai Kaputing ”WASAKA”, Banjarmasin.)
(babatsal)atau jimat kalung dan ikat pinggang milik seorang pejuang Kandangan dalam menumpas Belanda. Berfungsi untuk kekebalan.
Selain Benda-Benda di atas banyak Ilmu-Ilmu yang di gunakan dalam menumpas penjajah belanda, dari yg berasal dari suku pedalaman dayak maupun yang bernafas Islami melayu kalimantan, dan untalan dll.
Dalam revolusi fisik dan pertempuran Garis Demarkasi di desa karang jawa para pejuang Kandangan berhasil menumpas para penjajah belanda dan pada akhirnya belanda mendatangkan pasukan khusus mereka yang ganas yang di tarik dari Madura, dan Akhirnya dapat di tumpas. Pada akhirnya penjajah belanda mengalami kekalahan dan mendapat banyak korban di pihaknya, berkat Strategi, kegigihan dan semngat para rakyat dan para Pasukan ALRI beserta rahmat dan anugerah Tuhan pada akhirnya pada tanggal 17 Mei 1949 setelah belanda berhasil di tumpas tepatnya di desa Durian rabung kec. Padang batung yang masih wilayah demarkasi itulah tepat di bacakannya Text proklamasi Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya di Bumi Kalimantan.
Dan dari dulu hingga sekarang “desa Karang Dawa” adlah desa yang tak pernah Di jajah Belanda Hingga Kemerdekaan Indonesia, Bahkan dengan segala upaya, serangan dan gempuran dari penjajah. Dan itu semua karma Kegigihan para rakyat dan tentra ALRI dari berbagai daerah di Kaliamntan Selatan yang gigih membantu dlm berperang.
Berdsarkan Sejarah dan Histori tersebut orang-orang atau rakyat kandangan cenderung kebanyakan bersifat keras hati, temperamental yang menjadi ciri khas watak rakyat Kandangan hingga Kini, bahkan mereka di kenal adalah orang-orang yang pemberani bahkan ada yg rela mempertaruhkan nyawa meraka dalam berkelahi demi harga keberaniannya.
Bahkan sampai kini Kota kandangan yg di kenal Kota ketupat dan Dodol tersebut di Identikan dengan Ilmu Kekebalan yang ada di Daerah Kalimantan selatan, bahkan kebanyakan Ilmu kebal
Di Kota Kandangan Mngunakkan untlan (minyak yg mempunyai kekuatan magis dengan cara di telan) Bahkan katanya Anak orang No.1 di jaman orde Baru “Toemi Soeharto” pernah di kabarkan pernah berguru Ilmu kebal di Kota ttsb.
“jadi, perjuangan-perjuangan merebut kemerdekaan di bumi nusantra ini juga selalu di sertai dengan Ilmu-ilmu Di luar nalar yang di wariskan oleh Leluhur kita yagn telah menjadi budaya khas orang Indonesia di seluruh nusantra, bahkan orang-orang pribumi yang tangguh seperti Sultan Hasanudin yg berjulukan ayam jago dari timur, Fatahillah, dan byk lagi yg lainnya adalah orang pribumi yang di anggap hebat oleh rang barat”.
AURA MISTIS TARI TOPENG KALIMANTAN
Aura Mistis Pertunjukan Tari Topeng Tradisi Kalimantan
Topeng tak hanya merepresentasikan sosok atau karakter manusia. Topeng pun juga bisa mewakili kehadiran hantu. Inilah yang muncul dalam pertunjukan tari Topeng Bukung dari Kalimantan Tengah, yang dipentaskan dalam program Maestro! Maestro! #7 Tari Tradisi, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Selasa (4/12) pukul 20.00 WIB.
Program Maestro! Maestro! diadakan oleh Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta yang khusus dipersembahkan bagi para maestro tari tradisi di Indonesia. Menginjak program ketujuh ini, Maestro! Maestro pada Selasa (4/12) menampilkan tari topeng dan dilanjutkan hari Rabu (5/12) dengan mementaskan tari Gandrung Banyuwangi, Legong Bali, dan Remo Jombang.
Pada hari pertama, tampil tari Topeng Bapang dari Kalimantan Tengah yang ditampilkan oleh Bapak Cing'An, Topeng Hudoq dari Kalimantan Timur oleh Bapak Belawing Belareq, Topeng Bapang dari Jawa Timur oleh Bapak Chattam Amat Redjo, dan Topeng Bali oleh Bapak Ida Bagus Gede Mambal.
Pada hari kedua (5/12), tampil tari Gandrung Banyuwangi dari Ibu Temu Mesti, Legong Keraton oleh Ibu Ni Ketut Arini, dan Remo Jombang oleh Bapak Ali Markasan.
Saat pertunjukan pertama, penampilan mengesankan datang dari daerah Kalimantan. Baik tari Topeng Bukung dan Hudoq, menyuguhkan suasana dan rasa mistis yang berangkat dari ritual khas daerah tersebut.
Dalam tari Topeng Bukung yang malam itu ditarikan 10 orang, penonton diajak untuk memasuki upacara ritual Tiwah, yaitu ritual pengangkatan pembersihan tulang dan menyimpannya ke dalam Sandung (rumah kecil khusus untuk menyimpan tulang).
Ritual ini biasa dilakukan suku Dayak Ngaju yang memeluk agama Kaharingan yang meyakini sebelum tulang diangkat dari kubur dan dicuci sampai bersih, lalu disimpan di Sandung, arwah yang meninggal belum sampai ke Lewu Liau (surga/alam baka).
Topeng Bukung merupakan bagian dari ritual ini dan biasanya menggambarkan sekelompok hantu. Para penari mengenakan topeng yang menyerupai manusian, binatang, dan tumbuhan yang melambangkan suasana sukacita mengantarkan arwah ke alam baka.
Dalam tarian ini, dilibatkan karakter-karakter Bukung Tuan (menyerupai manusia), Bukung Metu (topeng berbagai bentuk binatang dari yang ada di udara, laut, dan air), dan Bukung Bungkus (seluruh anggota tubuh dibungkus dedaunan seperti daun pisang).
Kesan mistis dan sakral juga tampak di tari Topeng Hudoq yang ditarikan enam penari. Empat penari muncul terlebih dulu di atas panggung dengan kostum dari bahan dedaunan kering dan topeng menyerupai burung raksasa.
Di Kalimantan Timur, Hudoq ditarikan pada akhir masa tanam padi dengan harapan kesuburan lahan pertanian. Ritual Hudoq bertujuan untuk memanggil kembali segala roh kehidupan yang telah meninggalkan manusia agar kembali ke tempat yang seharusnya.
Dalam tradisinya, para penari Hudoq harus pergi keluar desa sambil mengenakan pakaian Hudoq tanpa boleh dilihat orang lain selain sesama penari. Kemudian menjelang senja, mereka kembali bersamaan memasuki kampung dan mulai menari di halaman Rumah Adat.
Dua tarian dari Kalimantan ini memperlihatkan kekayaan tradisi Indonesia yang memperlihatkan bagaimana kesenian menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat.
KISAH MISTIS AMBRUKNYA JEMBATAN TENGGARONG
Jembatan Tenggarong
Jembatan Tenggarong yang roboh
Masih ingat kan tentang kejadian rubuhnya Jembatan Tenggarong atau yang disebut juga Jembatan Mahakam II di Kutai Kertanegara – Kalimantan Timur?
Para ahli teknis dan fisik jembatan mengatakan jembatan itu ambruk karena kurangnya perawatan dan usia bangunan yang sudah tua.
Selain berdasarkan penelitian teknis, ada juga yang melakukan penelitian secara mistis. Ahli Supranatural yang cukup terkenal di Indonesia, Ki Joko Bodo mengatakan bahwa jatuhnya jembatan itu karena kurangnya tumbal kepala kerbau saat jembatan itu dibangun.
Karena kurangnya tumbal tersebut, maka sekarang manusialah yang menjadi tumbal. Percayakah Anda?
Jembatan Tenggarong tersebut ambruk pada Sabtu (26/11/2011) sekitar pukul 16.30 WITA yang mengakibatkan 4 orang meninggal dunia dan 22 orang luka-luka.
Jembatan yang juga disebut Jembatan Kutai Kartanegara itu diduga sedang diperbaiki saat kejadian nahas terjadi. Diduga ada unsur kelalaian atau korupsi terhadap jembatan yang baru berusia 10 tahun tersebut. Padahal sejatinya jembatan itu dibuat agar bisa bertahan lebih dari 50 tahun.
MAHLUK-MAHLUK MISTIS DARI KALIMANTAN
8 Makhluk Mistis Menyeramkan Dari Kalimantan
Kalian semua jika ketemu mahluk halus atau hantu
pati kalaian takut bukan takut karena sosok hantu itu di gambarkan
dengan bentuk yang menyeramkan nah berikut ini ada Makhluk mahluk mistik yang menakutkan dari Kalimantan Baratapa aja itu yuk kita simak berikut ini.
1. Kuntilanak (Pontianak)
Kuntilanak atau Pontianak merupakan jenis hantu
yang sangat umum diketahui oleh penduduk Kalimantan Barat bahkan oleh
semua warga Indonesia. Hantu Pontianak sering digambarkan sebagai wujud
wanitacantik yang berambut sangat panjang dan berbaju putih. Suara
tertawanya seram dan kebanyakan meringkih.Lokasi diduga sering ditemukan
: kuburan, pohon, rumah tua dan hutan.
2. Hantu jaring (hantu hujan panas)
Hantu ini muncul pada saat hujan panas. Diyakini
oleh orang Kalimantan Barat sering menggangu anak kecil denga
menyembunyikannya. Untuk menangkalnya biasanya dengan menyisipkan daun
atau rumput di daun telinga. Lokasi diduga sering ditemukan : belakang
rumah, sawah dan lapangan.
3. Jembalang tanah
Hantu yang berada di hutan-hutan. Diyakini sering
mengganggu pejalan kaki dan mengakibatkan kaki korban bengkak tidak bisa
berjalan. Lokasi diduga sering ditemukan : hutan dan lapangan.
4. Hantu Penanggal
Hantu ini berwujud kepala yang dilengkapi dengan
organ dari leher sampai perut tetapi tanpa badan (hanya organnya saja).
Mobilisasi dengan terbang menggunakan telinganya yang lebar. Sering
mengganggu hewan atau manusia yang akan melahirkan serta diyakini
biasanya memakan telur ayam peliharaan penduduk. Menurut cerita, hantu
leak memiliki badan
seperti manusia dan pada saat akan mengganggu penduduk, kepalanya
beserta organ dalamnya keluar dari tubuh. Untuk membunuhnya dapat
menggunakan daun jeruju atau duri dan dimasukkan ke dalam rongga tubuh
yang ditinggalkan tadi. Ada juga yang mengatakan dapat dibunuh dengan
memutar posisi badan yang ditinggalkannya. Lokasi diduga sering
ditemukan : kandang ayam, rumah bersalin dan rumah penduduk yang akan
melahirkan.
5. Bute
Hantu ini berwujud sapi dengan ukuran yang besar.
Dapat mengganggu manusia yang masuk ke hutan, tetapi biasanya mengganggu
sapi ternak penduduk yang dapat mengakibatkan kematian ternak dengan
mukut yang berbuih. Lokasi diduga sering ditemukan : hutan, kebun,
lapangan, semak dan kandang sapi.
6. Balai Seribu
Jenis hantu ini sering menggangu orang yang masuk ke hutan yang lebat. Kedatangannya ditandai dengan angin kencang. Tidak begitu jelas deskripsi atau wujudnya.Diyakini dapat menyebabkan kematian. Lokasi diduga sering ditemukan : hutan belantara.
7. Hantu Kambe’
Hantu kambe’ merupakan jenis hantu yang berwujud
setengah kambing (binatang) dan setengah manusia. Ada yang menceritakan
hantu ini memiliki badan manusia dengan rambut yang panjang dan berkaki
kambing (seperti faun dalam dongeng eropa), tetapi
ada juga yang meyakini hantu ini berwujud seperti kambing dengan surai
yang panjang. Hntu ini bertubuh kerdil dan biasanya mengganggu kambing.
Kehadirannya biasanya diikuti dengan suara kambing ribut yang diyakini
disebabkan hantu ini ikut menyusu pada induk kambing. Lokasi diduga
sering ditemukan : semak berlukar dan kandang kambing.
8. Rabing
Rabing berwujud seperti tikar yang terdapat di
dalam air. Biasanya mendiami sungai-sungai yang angker dan sewaktu-waktu
muncul kepermukaan. Hantu ini dapat menggulung manusia yang berenang
sehinga dapat kehilangan nyawa karena lemas. Kadang-kadang juga
digambarkan sebagai sosok makhluk seperti labi-labi. Lokasi diduga
sering ditemukan : sungai dan danau.
Source: http://jelajahunik.blogspot.com/2011/11/8-makhluk-mistik
HEADHUNTING (NGAYAU) DAN FILOSOFINYA
SUKU DAYAK
Dayak bukanlah etnis terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting. Masih banyak etnis lain yang melakukannya. Secara serentak, etnis Dayak mengakhiri ngayau tahun 1894, ketika diadakan musyawarah besar adat Dayak di Tumbang Anoi yang difasilitasi kompeni.
Mewakili daerah Jangkang menghadiri musyawarah Tumbang Anoi adalah Macan Talot dari Engkarong dan Macan Natos dari Kopa. Mengapa kedua macan (temenggung) itu yang diutus, agaknya berhubungan erat dengan posisi ketemenggungan, atau pemerintahan lokal, Jangkang pada saat itu.
Ngayau zaman dulu dilakukan saat padi sedang menguning. Hasil kayauan akan dipestakan bersamaan waktunya dengan gawai (pesta panen padi). Dayak Jangkang menamakan pesta menarikan kepala musuh ini Notongk. Notongk ditarikan (sonaja) sebagai satu rangkaian dari gawai itu sendiri. Ini gambaran suasana pesta gawai di Balai Ribant tahun 1940-an, penduduk bersukaria dan berdendang di ujung kampung. Sementara di samping tempayan tuak yang siap diminum bersama dengan menggunakan siongk (bambu kecil) untuk alat penyedot.
Akhir abad 18, pemerintahan lokal Jangkang dibagi dalam tujuh ketemenggungan. Karena ketemenggungan Engkarong adalah yang paling awal –keturunan langsung atau arkais dari migran pertama dari Tampun Juah, poya tona (tanah tumpah darah) pendiri kerajaan Sanggau, Dara Nante dan Babai Cinga— maka temenggung Engkarong yang paling dituakan. Ia menjadi primus inter pares dari enam temenggung lain, yakni ketemenggungan:
1) Kopa
2) Nsanong (Ensanong)
3) Tomok
4) Ndoya (Endoya)
5) Mpurangk (Poter)
6) Soguna (Mukok)
Talot sebagai macan Engkarong bersama Natos macan Kopa ditemani controleur dari Sintang berangkat ke Tumbang Anoi. Namun, di perjalanan controleur sakit (kakinya bengkak, bagi orang Barat kaki bengkak sangat berbahaya), lalu kembali ke Sintang lagi. Dengan demikian, hanya dua macan dari Jangkang yang menghadiri musyawarah Tumbang Anoi.
Saya setuju dengan J.U. Lontaan (1975: 533-537) yang mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau.
Pertama, melindungi pertanian.
Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).
Ketiga, balas dendam.
Keempat, daya tahan bagi berdirinya bangunan.
Namun, saya menambahkan satu alasan ngayau lagi.
Kelima, ngayau adalah ujud pertahanan diri melawan serangan asing. Pertahanan diri ini tidak saja pasif (menunggu), tapi juga bisa menyerang (aktif atau preventif). Jika setelah dianalisis dengan perhitungan matang suatu suku atau kelompok akan menyerang atau mengancam, sebelum didahului, maka akan mendahului.
CERITA PANGLIMA BURUNG SUKU DAYAK
Panglima Burung
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada
banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan,
Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini
dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya,
dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah
satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi
yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima
Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum.
Pangkalima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya,
tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum. Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Langganan:
Postingan (Atom)